Review Jurnal Nasional Hubungan Wahyu dan Akal Dalam Tradisi Filsafat Islam
Review
Jurnal
Sebagaimana
epistemologi Islam mengartikulasikan al-Quran sebagai sumber inspirasi bagi
akal dalam menemukan kebenaran, dan bahwa akal memiliki kedudukan penting
baginya,dengan sendirinya al-Quran sebagai wahyu tidak dapat dipungkiri.
Persoalannya kemudianadalah landasan filosofis apakah yang dapat dikemukakan
untuk menerangkan arti pentingkedudukan akal itu? Untuk menjawab persoalan ini,
perlu dilihat bahwa pemikiran filsafat Islamtelah melewati lima tahap
perkembangan, yaitu; pertama, tahap diterimanya al-Quran oleh umatIslam sebagai
satu-satunya jalan spiritual dan pedoman kehidupan, kedua, tahap yang
ditandaidengan bangkitnya pemikiran-pemikiran yurispridensi dan teologi Islam
yang secara khususmenunjuk pada munculnya empat mazhab/aliran besar, yaitu
Hanafi, Syafi’i, Hanbali, dan Maliki yang kemudian diikuti oleh aliran-aliran
kecil seperti Sunni dan Syiah, ketiga, adalahkelanjutan atau bahkan imitasi
dari tahap kedua di atas yang memunculkan pemikiran modeltradisionalis dan
konvensionalis di kalangan kaum Muslim, dan keempat, tahap yang ditandaidengan
penolakan atas otoritas doktiner kaum yurisprudensial (fuqaha) dan sufisme, dan
kelima,tahap pemikiran kontemporer yang ditandai oleh berkembangnya gerakan
revivalismekeagamaan dan meluasnya ketertarikan pada ilmu dan teknologi.Paraja
(1990: 75) mengungkapkan epistemologi Ibn Taimiyyah yang memuat pandangannya
tentang hubungan akal dan wahyu. Menurut Ibn Taimiyyah, akal dan wahyu itutidak
saling bertentangan satu sama lain. Pendapat akal yang lurus akan selalu sesuai
denganwahyu yang benar. Akal bukanlah dasar untuk menentukan kebenaran wahyu
karena wahyu telah pasti benar dengan sendirinya, baik wahyu itu diketahui oleh
akal atau tidak.
Wahyu tidak memerlukan pembenaran akal. Wahyu
menyempurnakan akal. Akal dan wahyu mungkin bisa bertentangan, tetapi pendapat
akal yang jelas akan sesuai dengan wahyu yang benar. Wahyuselamanya tidak dapat
dipisahkan dari akal.Dalam konteks kesesuaian wahyu dan akal itulah, model
pemikiran Ibn Taimiyyah relevan untuk disandingkan dengannya. Prinsip “kesesuaian”
Ibn Taimiyyah yang berarti tanpa pertentangan tercemin dari judul kitabnya yang
menggunakan perkataan muwafaqat dan dar’ta’arud. Meskipun implikasi makna
perkataan ini hampir sama dengan perkataan “ittishal” dalam pandangan Ibn
Rusyd, tapi prinsip-prinsip yang digunakan berbeda, terutama dalam memahami
makna akal (’aql ) dan dalam menjabarkan wahyu (al-naql, al-sam’i).
KESIMPULAN
Demikian pula apabila Ibnu Rusyd memberikan otoritas
kepada filosof untuk menta’wilkan wahyu, melebihi yang lain, ia telah
mendahulukan akal daripada wahyu dan ini boleh mengurangi kemutlakan wahyu.
Pandangan Ibn Taimiyyah adalah sebaliknya, yaitu memberi prioritas kepada
wahyu, namun ia tidak mengesampingkan akal sama sekali. Akal dan pengetahuan
akal yang berpikir benar tidak akan bertentangan dengan wahyu. Akal bagi Ibn Taimiyyah
tidak memiliki status independent seperti pandangan Ibn Rusyd.Berbeda dari
al-Razi, seorang pemikir Muslim terkemuka yang lain,baginya akal tidak dapat
menjadi asas bagi wahyu, tapi justru wahyu adalah asas bagi akal. Karena Ibn
Taimiyyah tidak mengakui adanya pertentangan antara akal dan wahyu, maka ia
melihat itu hanya karena pengetahuan tentang wahyu yang tidak jelas atau
pengetahuan akal yang salah. Untuk itu ia memandang perlunya pengetahuan
tentang tradisi dan pendekatan linguistik yang benar, dan inilah esensi konsep
ta’wil Ibn Taimiyyah.
Kebenaran yang diperoleh melalui akal dalam titik
tertentu bisa mempunyai kedudukan yang setingkat dengan wahyu. Maka dari itu
pintu masuknya bukanlah keimanan yang didasari oleh taqlid buta, tapi kesaksian
yang penuh kesadaran (syahadah). Proses kesadaran inilah yang sebetulnya memberikan
ruang bagi akal untuk mencapai kebenaran setingkat wahyu. Akal dalam hal ini
melalui metode induksi Ibn Rusyd (observasi dan eksperimen),bisa membaca
tanda-tanda alam dan menemukan kebenaran di dalamnya.Wahyu (al Qur’an) adalah
“inspirasi”, di dalamnya terdapat hukum-hukum dan pengetahuan yang bersifat
umum dan pernyataan-pernyataan final.Bagi Ibn Rusyd, dalam al-Qur’an terdapat
banyak ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akal (nadzar)
untuk memahami segala yang wujud.
Comments
Post a Comment