REVIEW JURNAL INTERNATIONAL “EXPERIMENTAL PHILOSOPHY AND PHILOSOPHICAL INTUITION”

 

Review Filosofi eksperimental berlandaskan pada filosofi tradisional setidaknya ada dua cara, inimenjaditantangankebenarandarikeyakinan yang padaumumnyaterjadi. Ini  memunculkan pertanyaan apakah percaya atau tidak pemikiran secara intuitif oleh masyarakat pada umumnya.Tantangan lainnya juga muncul berdasarkan hasil dari eksperimen tertentu.Skeptisisme tradisionals angat tergantung pada ide,kita benar-benar bias mengatakan hidup adalah tentang mimpi.Konsepsi dari mimpi sebagai sesuatu sepertihalusinasi akan tetapi mimpi tidak cukup dalam pengertian seperti itu saja.Mungkin mimpi adalah lebih dari mengimajinasi kan dari pada berhalusinasi.Ini memuncul kan suatu keragu-raguan (skeptis) tradisional.Jika ini bagian dari pikiran (nalar) bahwa dalam mimpi kita pada hakikatnya punya pengalaman kesadaran (conscious experiences) seperti (walling life) atau membangun hidup,eksperimental berdasarkan pendekatan mungkin menujukkan bahwa common sense (nalarataupikiran) adalah salah.Sedikit banyak yang menjadi masalah dalam filosofi yaitu skeptisismeradikal.Mungkin hal baru lebih baik,filusuf eksperimental tidak banyak meminjam dari ilmuwan seperti ilmuwan pada umumnya.Mereka melakukannya dengan merancang dan menjalankan eksperimen-eksperimen yang bertujuan untuk memberikan penerangan pada fisofis yang tertarik pada suatu isu-isu.Sebagian besar dari hasil kerjanyata eksperimental filosofi telah melibatkan psikologi sosial, beberapa karya terkenal telah melibatkan perencanaan survey atau penelitian untuk menyelidiki dan untuk memberikan pertanyaan intuisi masyarakat pada berbagai isu-isu filosofi.Jadi  hal baru akan melibat kan metodologis sadar diri atau self conscious untuk mencari suatu pendekatan. Sisi dari filosofi eksperimental adalah melakukan diskusi.Jika movement atau pergerakan memperkuat klaim untuk hasil hal baru, ini bekerja pada intuisi, dan demikian pula pekerjaan lainnya tergantung pada survey yang sanga tpenting. Muncul pertanyaan bahwa seharusnya kita memahami intuisi.Inisering diklaim bahwa filsafat analitik menarik pada intuisiintuisi dalaman alisis konseptual.Namun halini menyesatkan penggunaan intuisi dalam filosofi.Seharusnya intuisi tidak terjalin khusus untuk analisis konseptual.Penulis menerapkan keutamaan epistemologi pada kasus yang spesifik dari pengetahuan priori,pembenaran intuitif dan pengetahuan. Tradisionalitas seperti intuisi telah dipahami dalam persetujuan dengan 2 model yang menonjol yaitu yang pertama the perceptual eye of the mind dan yang kedua the cartesian introspective model. Intuisi adalah rasional jika dan hanya jika berasal dari kompetensi, dan konten yang secara eksplisit maupun secara pengendalian implisit. Pendekatanpertama ini kemudian dipertahankan terhadap 2 hal penting yang utama pada penyerangan terhadap intuisi yaitu the calibration objection dan the cultural divergence objection. ‘Kalau kita memaksa kebenaran ilmu tersebut memerlukan kedudukan access untuk reabilitas kompetensi kita, atau total control tanpa memperhatikan situasi kita, hasilnya akanlah sangat diragukan.Ketika kita bergantung kepada intuisi dalam filosofi, dalam pandangan saya, kita membentuk sebuah kompetensi yang membolehkan kita untuk berada pada sebuah subjek permasalhan, dengan berdasarkan kepercayaan kita kepada sedikit kepahaman pada isinya. Walaupun kita menolak model perseptual intuisi, selama kita masih menarik untuk kompetensi.itu seperti yang terlihat, dan lagi, tidak peduli apakah subjek masalahnya fully objective( sperti, mungkin, dengan persepsi bentuk), atau quasiobjective dan reaction-dependent(seperti, mungkin, dengan warna persepsi, atau dengan phenomena yang terkonstruksi secara sosial) jadi pasti akan terdapat masalah prima facie untuk menarik intuisi dalam filosofi, kalau survey menunjukan bahwa terdapat perpanjangan ketidaksepahaman yang cukup dalam subjek masalah seharusnya terbuka untuk akses intuisi. Para eksperimentalis belum cukup berbuat untuk menunjukkan bahwa mereka telah menyeberangi kesenjangan yang diciptakan oleh perbedaan potensial  tersebut dalam makna dan konteks. Juga belum terbukti tanpa diragukan bahwa  benar-benar ada perbedaan pendapat filosofis penting berakar pada perbedaan budaya atau sosio-ekonomi.

Dalam gerakan itu sendiri, orang menemukan pengakuan yang berkembang bahwa seharusnya "Ketidaksepakatan intuitif" mungkin hanya lisan. Dengan demikian, sebuah makalah baru-baru ini oleh Shaun Nichols dan Joseph Ulatowski berisi usulan berikut: Hipotesis kami adalah bahwa keragaman penafsiran 'disengaja' pameran, yaitu, mengakui interpretasi yang berbeda. Bagian dari populasi, jika diberikan [Tertentu] macam kasus, menafsirkan 'sengaja' salah satu cara, dan sebagian dari populasi menafsirkannya dengan cara lain. Pada satu interpretasi kedua kasus yang disengaja dan pada interpretasi lain, juga tidak. Dalam linguistik dan filsafat bahasa,ada beberapa cara yang bisa mengakui istilah interpretasi yang berbeda: istilah mungkin ambigu, polysemous, atau menunjukkan bentuk-bentuk tertentu. Kami berarti untuk hipotesis keragaman interpretatif untuk bersikap netral tentang yang berupa keanekaragaman penafsiran berlaku untuk 'disengaja'.``Sejauh bahwa filsafat eksperimental mengadopsi cara ini dalam perhitungan untuk keragaman respon intuitif lisan, itu akan menghindari bentrokan substantive dalam mendukung perselisihan hanya secara verbal. Tapi sekali perbedaan pendapat tersebut dipandang verbal, seharusnya masalah pada menguapnya filosofi intuisi. Pembelaan intuisi filosofis dengan menggunakan dalih "perselisihan hanya verbal" dapat ditolak karena kegagalan yang tersirat dari komunikasi akan mengancam untuk membuat laporan intuisi yang tidak berguna untuk teori filsafat bersama. Daya tarik untuk perbedaan penafsiran adalah langkah defensif, dilakukan terhadap mereka yang mengklaim bahwa ada ketidaksepakatan serius dalam intuisi.Ini adalah hanya terhadap suatu klaim perselisihan yang kita harus menarik perbedaan verbal. Tetapi setiap klaim tersebut perlu diambil secara serius hanya ketika didukung oleh bukti yang memadai. Dan ini pasti masalah yang harus diambil secara kasus per kasus. Pertama, bukti yang mungkin untuk dikumpulkan secara empiris, melalui survei. Kedua, bukti mungkin internal untuk bidang kita, berutang kepada dialektika dengan sesama filsuf,misalnya tentang apa yang harus dipikirkan tentang berbagai kasus hipotetis. Pertimbangan studi kasus lebih lanjut tentang bagaimana benturan intuisi dapat berubah menjadi hanya verbal. Filsafat eksperimental juga berhubungan dengan bagaimana seseorang dapat bertanggung jawab secara moral atas apa yang telah dia lakukan. Hal ini jugadipertanyakan pada para ilmuwan. Apakah mereka bisa memenuhi tanggung jawabnya secara moral atau tidak. Setelah dilakukan penelitian, ternyata hasilnya mengejutkan. 86% dari responden menjawab tidak: mereka tidak bisa memenuhi tanggung jawabnya secara moral mengenai segala sesuatu yang telah mereka lakukan. Penurunan kinerja dari seorang intelektual pada umumnya akan berpengaruh pada relevansi kompetensi, persepsi, dan inferensi yang mereka miliki.Pertanggung jawaban dari suatu tindakan akan akan menggambarkan sifat dari seseorang, sehingga orang lain akan memberikan penilaian mengenai akuntabilitas dan kredibilitas yang dimiliki oleh orang tersebut. Orang-orang akan membandingkan kredibilitas seseorang dengan orang yang lain dan manakah yang lebih bertanggung jawab dalam hal tindakannya.Dalam suatu kasus, seseorang akan membuat penjelasan alternatif untuk mempengaruhi keragu-raguannya. Seperti artikel Stanford Encyclopedia of philosophy mengenai tanggung jawab moral, di mana kita diberitahu bahwa ada duaindera yang berbeda dalam  tanggung jawab moral, yaitu atributabilitas dan akuntabilitas akal.Kita harus berhati-hati dalam bagaimana kita menggunakan intuisi, bukan bahwa intuisi tidak berguna. Hal ini tentu saja membantu untuk ditampilkan bagaimana intuisi dapat tersesat dalam kondisi yang tidak menguntungkan, seperti persepsi yang justru membuat analisis kita berbeda dengan data dan fakta yang harusnya lebih kita pakai daripada sebuah intuisi.Saluran baru-baru ini mucul pada intuisi filosofis, sejalan dengan filosofi eksperimental movement. Menurut sebuah buku terbaru oleh Michael Bishop dan JD Trout, epistemologi harus melihat melampaui pusar dan mengadopsi lebih layak dalam mengembangkan resep yang akan memiliki beberapa objek yang akan digunakan dalam dunia nyata. Normatif disiplin yang bersangkutan dengan resep dan evaluasi memiliki sisi theo retical dan sisi yang lebih diterapkan. Yang terakhir kita sebut "kasuistis" dalam arti luas. Lebih umum, kebijakan yang berorientasi kasuistis etika terapan. Sejauh ada hal seperti itu sebagai epistemologi diterapkan, saya kira itu harus ditemukan sebagian besar, meskipun tidak secara eksklusif dan langsung turun di lapangan.Memang kita bisa mengajukan keberatan akan intusi yang digunakan. Apabila memang intuisi lebih digunakan dalam hal ini, dipertahankan dalam perananya melalui kasuistis epistemik maka semua akan menjadi kecil dibandingkan dengan pengetahuan kita tentang fakta-fakta ilmiah yang sebenarnya lebih relevan dan terpercaya dari pada sebuah intuisi.Kedudukan kasuistis epistemik sangatlah jelas yaitu sebagai sebuah disiplin dengan aturan yang berlaku secara umum. Untuk menentukan fakta-fakta dalam kasuistis tentunya dapat menggunakan metode yang tepat, sumber pustaka, surat kabar yang terpercaya, dan metode statistik yang telah teruji. Kegunaan kasuistik epistemik lebih menonjol pada aspek praktis yang mencakup berbagai instrument dan cara membaca berbagai alat ukur. Misalnya, alat navigasi, peta hutan, tips pertanian dan sebagainya. Sedangkan epistemologi menjelaskan lebih kepada sifat,kondisi, dan tingkat pengetahuan dan pembenaran. Namun demikian, kasuistik epistemik dan epistemologi tradisional memiliki waktu dan tempat masing-masing dalam penggunaannya. Jadi, tidak bisa dinilai mana yang lebih baik dan mana yang lebih buruk. Pertanyaanya adalah, dalam kasuistis apakah intuisi kompeten sebagai sumber dasar pembenaran yang tepat.Uskup dan Trout menekankan bahwa teori SAE hanya mendefinisikan apayang tidak boleh kita lakukan, bukan apa yg seharusnya kita lakukan. Yang dimaksud dengan kita disini hanyalah sebagian fraksi populasi dunia yang mempelajari teori SAE.Dalam epistemologi, intuisi seharusnya berfungsi sebagai analogi dengan cara pengamatan dalam ilmu empiris. Data ilmu empiris tidak hanya meliputi pengamatan oleh spesialis, tetapi juga tentang kebenaran subyek mengenai sebuah kasus. Jadi, ilmu empiris bukan membahas mengenai kebenaran normatif seperti halnya intuis, namun lebih menekankan pada kebenaran yang sebenar-benarnya.

 

KESIMPULAN :

Filsafat eksperimental adalah sebuah filsafat yang berlandaskan pada filsafat tradisional dan mempunyai dua pandangan. dua pandangan tersebut yaitu pertanyaan apa yang bisa dan apa yang tidak bisa dipercaya secara intuitif oleh masyarakat umum. Filsafat eksperimental sangat berguna sebagai sumber informasi dari ilmu-ilmu lain terutama filsafat. Suatu hasil eksperimen dapatmelandasi ilmu filsafat tergantung dari  proses bagaimana eksperimen itu dilaksanakan. Para filsuf eksperimental melakukan penelitian untuk membahas dan lebih mendalami lagi isu-isu filosofis yang mereka anggap sangat menarik.Disamping itu, disini juga dibahas mengenai intuisi, yaitu bagaimana kita dapat memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas.Sumber pengetahuan manusia berasal dari gagasan, ide, penalaran, dan intuisi. Sumber gagasan adalah akal pikiran manusia, sedangkan sumber intuisi adalah kepekaan perasaan manusia dalam menangkap berbagai isyarat metafisikal atau supranatural, atau dari ilham bagi orang-orang yang dipilih oleh Tuhan atau bahkan ada yang datang dan muncul dari mimpi. Selain itu akumulasi pengalaman manusia dapat dijadikan sumber pengetahuan analitik dan intuitif, sehingga kebenaran yang diperoleh atas penalaran analitik dan intuitif yang berdasarkan pengalaman dapat disimpulkan oleh kedua kategori kebenaran, yakni kebenaran ilmiah yang rasional empirik dan kebenaran normatif-intuitif.Ketajaman intuisi ini sangat dibutuhkan dalam hal pembuatan keputusan atau kebijakan. Oleh karena itu, seorang pemimpin, atau seorang pembuat kebijakan harus memiliki ketajaman intuisi yang cukup agar kebijakan yang dia buat bias proporsional, efisien, dan teralokasi dengan baik. Hal ini juga akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Comments